Beranda | Artikel
Tata Cara Sujud Tilawah
Kamis, 31 Mei 2018

TATA CARA SUJUD TILAWAH.

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Tata cara sujud tilawah dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Para ulama bersepakat bahwa sujud tilâwah cukup dengan sekali sujud.
2. Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
3. Berdasarkan pendapat yang paling kuat, sujud tilâwah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm sebelumnya dan juga tidak disyari’atkan salam setelahnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sujud tilâwah ketika membaca ayat sajdah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’rûf dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , juga dianut oleh para Ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.”[1]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan tidak adanya takbîr dan salam dalam sujud tilâwah kecuali apabila dalam keadaan shalat.[2]

4. Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Umumnya para Ulama memandang pensyariatan takbir dalam sujud tilâwah apabila sujud tersebut dilakukan dalam shalat, tanpa membedakan antara turun sujud dan bangkit dari sujud. Mereka berdalil dengan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dalam setiap naik dan turun. [HR. Al-Bukhâri 1/191]

Imam an-Nawawi menukil salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah yang menyatakan bahwa tidak takbir saat naik dan turun dalam sujud tilâwah dan beliau rahimahullah menghukumi pendapat ini lemah dan menyelisihi yang benar.[3]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Telah shahih bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud, sehingga sujud tilâwah masuk dalam keumuman ini. Adapun yang dilakukan sebagian imam masjid apabila sujud tilâwah dalam shalat, yaitu bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit dari sujud, maka ini dibangun diatas pemahaman keliru tanpa ilmu; karena ketika melihat sebagia Ulama memilih dalam sujud tilâwah bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit, menyangka bahwa itu berlaku dalam shalat dan di luar shalat dan tidak demikian yang benar. Yang benar, apabila melakukan sujud tilâwah dalam shalat maka ia bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit sebagaimana telah lalu.[4]

5. Mengangkat tangan dalam takbir tersebut.
Dalam masalah disyari’atkan angkat tangan atau tidak ketika hendak sujud, para Ulama berselisih dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama : Tidak Disyariatkan Mengangkat Tangan.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah (lihat al-Banâyah 2/734), madzhab Mâlikiyah (lihat asy-Syarhul ash-Shaghîr 1/569), madzhab Syâfiiyah (lihat Mughnil Muhtâj 1/217) dan satu riwayat dari imam Ahmad dan dirajihkan sebagian ulama Hanabilah.[5]

Pendapat ini berdalil dengan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma yang berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sejajar kedua bahunya apabila memulai shalat dan apabila bertakbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ demikian juga mengangkat kedua tangannya, seraya berkata: Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal Hamdu. Beliau tidak melakukan hal itu dalam sujud. [HR al-Bukhari no.735].

Disini dijelaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangannya dalam sujud dan sujud tilâwah termasuk sujud yang pernah Beliau lakukan dalam shalat.

Hal ini didukung dengan qiyâs (analogi) kepada sujud dalam shalat yang tanpa mengangkat kedua tangannya.[6]

Pendapat Kedua: Disunnahkan Mengangkat Tangan.
Inilah satu riwayat dari imam Ahmad dan menjadi pendapat madzhabnya.[7]

Pendapat ini berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujur Radhiyallahu anhu :

«أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُكَبِّرُ إِذَا خَفَضَ، وَإِذَا رَفَعَ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ التَّكْبِيرِ، وَيُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ

Beliau shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbi dan salam kekanan dan kekiri.”[8]

Kemudian Imam Ahmad mengomentarinya dengan menyatakan: Ini (sujud tilawah) masuk dalam ini semua.[9]

Pendapat Yang Rajih:
Pendapat pertama tampak lebih kuat karena qiyâs yang mereka sampaikan shahih. Sedangkan hadits Wail bin Hujur Radhiyallahu anhu tidaklah menunjukkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dengan mengangkat tangannya dalam takbir sujud. Apalagi adanya riwayat ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang jelas meniadakan angkat tangan dalam sujud.

6. Umumnya Ulama mensunahkan membaca dalam sujud tilâwah bacaan yang sudah ada dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya:

1. Bacaan tasbih dan doa yang ada dalam sujud shalat seperti :

a. Membaca:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

Maha Suci Allâh Yang Maha Tinggi,

Seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Radhiyallahu anhu, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi [HR. Muslim no. 772].

Juga karena hadits Uqbah bin ‘Amir al-Juhani Radhiyallahu anhu yang berkata:

فَلَمَّا نَزَلَتْ: {سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} [الأعلى: 1] قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ

Ketika turun firman Allâh surat al-A’la ayat ke-1 maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami: Jadikanlah ini dalam sujud-sujud kalian.[10]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Hadits ini mencakup sujud dalam shalat dan sujud tilâwah[11]

b. Membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan alasan dengan dua dalil:

Pertama: Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. [as-Sajdah/32 : 15].

Kedua: Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Maha Suci Engkau, Ya Allâh, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku [HR. Al-Bukhâri no. 817 dan Muslim no. 484][12]

2. Bacaan yang diriwayatkan oleh ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam sujud sajdahnya beberapa kali :

سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ

Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Abu Dawud no. 1414 dan shahihkan al-Albani rahimahullah]

3. Bacaan yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca :

اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ فَأَحْسَنَ صُوَرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Ya Allâh! Kepada-Mu aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Muslim no. 771]

4. Bacaan yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma .
Beliau berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Aku bermimpi shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala aku bersujud, pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:

اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ،

Ya Allah! Tetapkanlah pahala untukku disisi-Mu dengan bacaan ini dan gugurkanlah dosa-dosaku! Jadikanlah dia sebagai tabunganku dan terimalah dia sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Daud

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat sajdah kemudian sujud. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pun berkata: Lalu aku mendengar beliau membaca seperti yang orang tersebut sampaikan dari perkataan pohon itu.[13]

Demikian beberapa masalah berkenaan dengan  tata cara sujud tilawah dalam sholat. Semoga bermanfaat.

Wabillahittaufiq

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Majmû’ al-Fatâwa, 23/165
[2] Syarhu Mumti’ 4/100
[3] Lihat al-Majmu’ 4/63
[4] Syarhu Mumti’ 4/100
[5] Lihat al-Mughni 2/361
[6] Lihat Mughnil Muhtâj 1/217
[7] Lihat al-Mughni 2/361
[8] HR. Ahmad dalam Musnad 4/316, Ad Darimi dalam sunannya 1/285, ath Thayâlisiy dalam Musnadnya no. 1805. dan dinilai Hasan oleh al-Albani dalam al-Irwâ’ no. 641
[9] Lihat al-Mughni 2/361
[10] HR Ibnu Mâjah dalam sunannya no 887. Hadits ini dilemahkan al-Albani dalam Dhaif Sunan Ibnu Mâjah dan di hasankan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Sunan Ibnu Mâjah
[11] Syarhu mumti’
[12] Syarhu Mumti’
[13] HR.Tirmidzi no. 576 dan dihasankan al-Albani rahimahullah


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9229-fidyah-tidak-bisa-ditunaikan-dalam-bentuk-uang-2.html